Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO) Gemilang Tarigan menanggapi kondisi kuota BBM Subsidi jenis solar yang diperkirakan akan habis pada Oktober 2022, sebagaimana diinformasikan BPH Migas.

Menurut dia, sebagai pelaku usaha penerima subsidi solar, Aptrindo lebih memilih opsi ketersedian bahan bakar meskipun mahal dibandingkan kelangkaan yang diakibatkan habisnya kuota BBM subsidi.

"Jika memang harus memilih, lebih baik kami membeli dengan harga lebih mahal dibandingkan harus menghadapi kelangkaan dan menimbulkan antrean panjang berhari-bari," terang Gemilang Tarigan di Jakarta, Selasa, 23 Agustus 2022.

Ketum Aptrindo menjelaskan prinsip dasar yang perlu disadari pemerintah dalam konteks subsidi BBM bagi kendaraan niaga jenis truk. Bahwa penerima subsidi sebenarnya adalah pengguna jasa angkutan niaga.

Biaya BBM akan dimasukkan dalam komponen biaya operasional yang dibebankan kepada pengguna jasa. Jadi, berapa pun harga BBM yang ditetapkan, imbas langsung akan dirasakan oleh pengguna jasa atau konsumen secara umum.

"Bila harga BBM naik, maka biaya yang dibenkan ke pengguna jasa pun akan ikut naik. Karena itu bagi kami kalau harus naik (harga) lagi tidak masalah. Yang penting tersedia," kata Gemilang Tarigan.

Untuk itu, ada dua opsi yang menurut dia akan dipertimbangkan pelaku usaha angkutan truk. Opsi pertama adalah mendorong penggunaan campuran solar dengan dexlite atau dex. Tujuannya agar kuota solar subsidi yang sudah terbatas tetap tersedia.

Pasalnya, jika memaksakan pemanfaatan BBM subsidi secara utuh maka kelangkaan akan terjadi mulai Oktober yang akan berimbas pada kelangsungan usaha.

Opsi kedua adalah menerima penyesuaian harga (kenaikan harga) solar demi tetap tersedianya BBM jenis solar yang digunakan angkutan truk.

"Bagaimana pun kami memahami beban APBN yang harus ditanggung pemerintah demi subsidi BBM. Kenaikan anggaran subsidi sudah tiga kali lipat, dari Rp 158 triliun menjadi Rp 502 triliun ternyata masih kurang. Maka opsi kenaikan harga bisa dipertimbangkan," ujar Gemilang Tarigan.

Sebagaimana diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan kepada Badan Anggaran DPR RI bahwa anggaran subsidi telah membengkak tiga kali lipat. Jumlah tersebut ternyata masih kurang jika dilihat dari prognosa konsumsi BBM hingga saat ini.

Kemenkeu memperkirakan bahwa jika kondisi itu terus berlanjut, kebutuhan anggaran subsidi BBM akan meningkat hingga totalnya pada 2022 menjadi Rp 698 triliun. Perhitungan itu bahkan hanya mencakup pertalite dan solar, belum termasuk liquid petroleum gas (LPG) 3 kilogram dan listrik.

Kondisi tersebut akan sangat membebani APBN. Untuk itu ada tiga opsi yang tengah dipertimbangan pemerintah. Pertama, menaikkan anggaran subsidi. Kedua, membatasi konsumsi BBM. Ketiga, menaikkan harga BBM.

Kombinasi ketiga opsi pun tengah dipertimbangkan.

Beberapa hari ini media diramaikan dengan adanya kelangkaan BBM Solar Subsidi hampir di seluruh wilayah pulau Sumatera seperti di Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Lampung dan beberapa provinsi lain.

Namun menurut Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan, kelangkaan ini lebih disebabkan karena mulai tumbuhnya perekonomian pasca pembatasan yang kemarin dilakukan karena pandemik Covid-19.

Patut disyukuri bahwa saat ini roda perekonomian kembali tumbuh setelah cukup lama dilakukan pembatasan oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan terjadinya permintaan solar subsidi yang cukup signifikan. Sedangkan di sisi lain solar subsidi itu dibatasi oleh kouta yang ditetapkan oleh BPH Migas,” kata Mamit Setiawan dalam keterangan tertulisnya, Minggu (17/10/2021).

Di sisi lain, kata Mamit, Pertamina dalam hal ini sub holding Pertamina Patra Niaga (PPN) menjaga agar sisa kouta yang ditetapkan oleh Pemerintah dan BPH Migas cukup sampai akhir tahun 2021 ini.

“Pertamina pastinya akan menyesuaikan sisa kouta setiap provinsi agar tidak melebihi batas yang ditentukan. Pertamina tidak bisa serta merta menambah kouta tanpa ada persetujuan ataupun perintah dari Pemerintah dan juga BPH Migas untuk menambah jumlah Solar Subsidi yang beredar karena terkait dengan penggantian dana subsidi yang diterima oleh Pertamina,” papar Mamit.

Ia juga menyampaikan bahwa seharusnya kritikan bukan diarahkan kepada Pertamina dalam hal ini Pertamina Patra Niaga, tapi harus diarahkan kepada pemerintah karena tidak ada kecepatan dalam mengambil tindakan akibat kelangkaan Solar Subsidi ini.

“Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan BPH Migas harus segera bertindak cepat dengan segera menyetujui atau meminta kepada Pertamina menambah kouta Solar Subsidi dan kelebihan kouta tersebut akan dibayarkan dalam APBN 2022 sehingga tidak menimbulka kepanikan di masyarakat karena kelangkaan ini,” jelas Mamit.

Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa kenaikan harga CPO sepanjang 2021 ini bisa menjadi penyebab ketersediaan stock BBM Solar Subsidi terganggu. Hal ini disebabkan karena untuk BBM jenis tersebut merupakan program Solar B30.

“Kenaikan harga CPO yang melejit sampai 75% jika dibandingkan tahun 2020 ikut mendorong kenaikan harga FAME sebagai bahan campuran B30 ini. Jadi, pemerintah harus membuat regulasi harga atau DMO CPO untuk program biodiesel sehingga tidak menambah beban produksi bagi Pertamina jika harga FAME sedang mengalami kenaikan,” tukasnya.

Mamit juga mengusulan agar saat harga FAME mengalami kenaikan, maka Pertamina bisa diberikan kelonggaran untuk menjual BBM solar subsidi murni tanpa dicampur dengan FAME.

“Ini penting demi kelancaran mobilitas kendaraan umum serta demi membantu perekonomian yang sudah mulai tumbuh ini. Jika nanti harga FAME sudah turun, maka Pertamina wajib kembali menjual BBM solar subsidi B30 ke masyarakat,” lanjut Mamit

Dia juga menyoroti soal belum adanya aturan yang jelas mengenai siapa saja yang berhak untuk menggunakan BBM Solar Subsidi hingga saat ini. Karena hal ini yang menyebabkan kouta solar subsidi melonjak dari batas yang ditentukan.

“Para pengusaha tambang, pengusaha perkebunan, mobil pribadi yang mewah semua bisa membeli solar subsidi tanpa ada larangan yang jelas. Dan hanya dibatasi maksimal 30 liter per hari per kendaraan,” cetusnya.

“Ini jelas salah. Harusnya solar subsidi itu untuk angkutan umum, angkutan sembako dan juga angkutan lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemerintah harus mengevaluasi terkait dengan tidak adanya pembatasan pengguna solar subsidi ini,” pungkasnya.(SL)

KANTOR PUSAT
GRAHA APTRINDO
Jl. Raya Sulawesi No.23
Tanjung Priok, Jakarta Utara 14310
Telp : 02143900464 / Fax : 02143900465
Lihat Peta
LAINNYA
LEGALITAS
Asosiasi berbadan hukum resmi terdaftar di KEMENKUMHAM berdasarkan SK AHU-00667.60.10.2014
Hak Cipta © 2024 Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia
magnifiercrosschevron-upchevron-down